“Begitulah semuanya dimulai: Daftar Kebencian yang terkenal. Dimulai sebagai lelucon. Sebuah cara untuk melampiaskan frustrasi. Hanya saja, daftar itu tumbuh menjadi hal lain yang tidak pernah kuduga.” (Hate List, halaman 122)
Kutipan di atas merupakan kutipan dari sebuah novel terjemahan berjudul Hate List karya Jennifer Brown. Novel ini menceritakan tentang seorang gadis SMA bernama Valerie yang memiliki pacar bernama Nick yang sangat ia sayangi dan juga dikelilingi sahabat di sisinya. Tapi menjadi seorang remaja biasa yang tak populer dengan penampilan yang “kurang menarik” ternyata tidak semudah kelihatannya. Valerie dan Nick kerap menerima perundungan ( bullying) keluarganya yang tidak rukun membuat Valerie, dibantu Nick, ingin menuangkan semua kekesalan yang mereka hadapi melalui sebuah catatan yang berisikan daftar orang-orang yang mereka benci. Namun daftar orang-orang yang mereka benci, yang Valerie kira hanya sebagai lelucon dan pelampiasan rasa kesalnya terhadap orang-orang yang merundungnya berubah menjadi sebuah bencana. Nick tiba-tiba menjadikan daftar tersebut sebagai sasaran yang harus ia “hukum” dengan tangannya sendiri. Dengan bantuan sebuah pistol, Nick menembaki orang-orang di Garvin High secara membabi buta dengan puncak nya Nick menembak dirinya sendiri. Sementara Valerie yang begitu terkejut berusaha menghentikan itu semua dan juga ikut menjadi sasaran tembak. Valerie selamat, tapi penghakiman dari semua orang dan tuduhan sebagai dalang dari peristiwa penembakan mengisi harinya.
Dalam novel ini kita tidak hanya disuguhkan tentang cerita persahabatan antar remaja dengan kasus perundungan namun dalam novel ini kita disuguhkan sebuah kisah tentang cinta, kebencian, dan penyumbuhan diri dengan memaafkan. Novel ini mengajarkan pada kita bahwa kasus perundungan tidaklah sesederhana yang kita bayangkan selama ini dan seringkali dipandang sebelah mata oleh pihak sekolah. Di sini kita seakan disadarkan bahwa mungkin teman kita atau diri kita sendiri merupakan korban atau bahkan pelaku perundungan.
Dengan berpusat pada perjalanan kisah karakter Valerie setelah kasus penembakan yang dilakukan pacarnya, novel ini mengajak kita menyelami betapa kacaunya perasaan yang dirasakan oleh Valerie setelah kasus penembakan. Memahami keputusasaannya, kebenciannya, keterpurukannya, rasa cintanya pada seorang anak lelaki penggila Shakespeare, dan memahami ketidakmengertiannya pada kondisi keluarganya sendiri. Memahami seorang anak lelaki yang dituduh monster, tetapi juga seorang korban. Memahami bagaimana kondisi korban. Memahami perubahan yang terjadi setelah insiden. Memahami bahwa, setelah yang terjadi, ada yang tidak berubah. Memahami bagaimana seorang sahabat menjadi musuh, dan apakah seorang musuh bisa menjadi teman. Memahami bagaimana kondisi keluarga bisa sangat berpengaruh pada pertumbuhan seorang anak. Bagaimana remaja yang tidak memiliki support system yang baik mencari perlindungan di tempat lain yang jauh dari keluarga, guru, atau orang terdekat lainnya. Dan melalui perjalanan para tokoh dalam novel ini hal paling penting yang kita dapatkan adalah bagaimana kita harus merelakan tanpa melupakan, dan memaafkan tanpa menyudutkan.
Dalam novel ini kita juga diajak untuk belajar dari karakter Valerie. Bahwa setiap orang memiliki kisahnya sendiri, dan setiap orang memiliki prosesnya sendiri untuk menjadi lebih baik. - Be
“Seperti selalu ada waktu untuk kesedihan, akan selalu ada wktu untuk penyembuhan.” – (Hate List, halaman 250)
0 komentar